I write my life

I write my life,my imajination,my world

Senin, 30 Januari 2017

Darkness of love 2

 Tahun bergulir dengan cepat,tak terasa anak bermahkotakan bunga semak kini tumbuh menjadi gadis sembilan belas tahun yang penuh semangat,keterbatasan fisik yang dia miliki tak menghalanginya berusaha menggapai cita-cita seperti gadis normal lainnya,juga berkat dukungan penuh orang tua terutama sang ayah,  hingga disinilah dia berada, berdiri di depan sebuah kampus jurusan seni rupa,  memandangi dengan takjub bangunan yang sangat artistik,baik dari segi arsitektur,interior terlebih sapuan cat penuh warna yang melapisi dinding  dan masih sangat baru,salah satu hal yang paling Nisa sukai.

 Nisa adalah mahasiswa baru jurusan itu dan juga penerima beasiswa penuh karena prestasi dan bakat melukisnya,kesukaannya pada warna-warni cat  air dalam torehan gambar telah mengantarnya ke kampus dengan bangunan-bangunan megah, universitas swasta  namun kualitas dan prestasi mahasiswanya telah sampai di kancah internasional,milik keluarga yang mempunyai jaringan koorporasi,salah satu yang terkaya di Indonesia.
 Terhitung sudah hampir dua bulan dia berada di tempat ini.Menjelang keberangkatan Nisa ke asrama yang memang disediakan pihak kampus bagi mahasiswa yang rumahnya di luar kota,ibunya yang paling berat melepas karena untuk pertama kalinya Nisa akan keluar rumah dalam waktu yang panjang.Ayah Nisa yang selalu pendukung setianya, membantunya meyakinkan ibunya dan kali inipun sang ayah menggenapkan rekornya yang tak pernah gagal.
 "Nis!" Seseorang menyapa lewat tepukan ringan di bahunya.Nisa menoleh. Rupanya Adib,kakak senior dan juga seseorang yang telah lama dia kenal karena kebetulan  kedua ayah mereka  telah berteman lama.
'Kak Adib kok bisa disini?' Tanya Nisa dalam bahasa isyarat. Penasaran kenapa Adib yang notabene mahasiswa teknik ada di fakultas seni meskipun sebenarnya fakultas teknik cukup dekat.
" aku habis lihat pameran foto di hall, kamu sendiri,ngapain bengong disini? Kamu berangkat atau habis kuliah?" Tanyanya sambil tak lupa menatap intens wajah Nisa, memberinya akses untuk bisa membaca bahasa di bibirnya.
Nisa menggerakkan tangan berikut jemari-jemarinya, Adib yang sedikit tahu bahasa isyarat dari pertemanannya dengan Nisa,dengan segera bisa memahaminya.
"Sayang sekali! Aku ingin sekali  mengajakmu jalan-jalan tapi sampai saat ini belum kesampaian,atau..mending kau bolos saja hari ini?!" Adib sengaja memelankan ucapan terakhirnya tapi kemudian dia melihat ekspresi tak suka di wajah Nisa." Atau mending kita lupakan saja ucapanku tadi karena aku tak mau dihajar ayahmu dan ayahku.
Nisapun tak bisa menahan tawanya karena ucapan adib dan ekspresi lucu di wajahnya
Tidak apa-apa,kak,kita bisa pergi  lain waktu  , balas Nisa dalam bahasa isyarat.
"Diba!!" Sebuah panggilan keras memanggil Adib,yang tentu saja cuma didengarnya tapi melihat Adib menoleh,Nisapun tanpa sadar ikut menoleh.
Tak jauh dari mereka, berjalan lima orang cowok dari arah fakultas tehnik
"Hei!" Adib balas melambaikan tangan.
"Kita mau cabut " balas cowok lainnya.
"Tunggu sebentar! Oke,Nis,aku pergi dulu! Nanti.."
Belum selesai adib bicara, Nisa menyela.
'Kak adib bukan mau berbuat nggak bener'kan?awas lo, kulaporin om arifin!
Pertanyaan Nisa langsung mendapat jitakan di kepalanya.Pelan tentunya.
"Hei,gadis muda! Apa pantas bicara begitu pada kakak seniormu!  Untuk kali ini kau akan kubiarkan,tapi lain kali jangan sampai aku harus membuatku berdiri dengan kaki sebelah seharian.apa kau mengerti!"
'Aku sangat menyesal, tolong maafkan aku', Nisa berisyarat,tetap tersenyum karena sudah paham Adib memang suka mencandainya.
Adib menekuk kedua lengannya di dada, masih saja bersikap sok serius."Oke! Kau beruntung punya kakak senior seperti aku ini, pergilah! belajar yang rajin!"
'Siap,jenderal'
Tak lupa Nisa mengangkat tangan tanda hormat. Begitu Adib berlalu, mata Nisa masih tak terlepas dari gerombolan cowok yang berjalan bersama Adib, terutama pada sosok yang tak kalah atletis dan gagah. Sosok cowok yang punya lesung pipi paling menawan yang pernah Nisa ingat, sayang, lesung pipi itu tak pernah lagi dia lihat sejak dirinya bisa bertemu lagi dengan cowok itu , seiring muka datar yang selalu empunya tunjukkan.
 Nisa tanpa sadar menatap begitu intens, hingga seolah tatapannya berhasil menyuruh cowok itu menoleh padanya. Walhasil Nisapun jadi salah tingkah sendiri dan buru- buru berbalik melangkah pergi.
 Nisa merasa sangat malu, namun dia juga tak bisa mengingkari ada bahagia menelusup hatinya bisa ditatap kembali orang yang pernah memberinya mahkota bunga yang berarti baginya hingga kini.
.
.
.
.